Pembacaan Alkitab: Roma 12:14
Menerapkan nilai-nilai kehidupan berdasarkan perintah Kitab Suci sangatlah sulit. Kita senang dan bahagia pada saat kita mendengar tentang janji-janji berkat, namun lupa bahwa, janji berkat tidak akan terwujud jika kita hanya menerima saja tanpa disertai dengan perjuangan untuk mewujudkannya terutama hidup takut akan Tuhan.
Nilai-nilai kehidupan yang akan menentukan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada TUHAN yang telah digariskan dalam Kitab Suci sering sekali berbalik melukai diri kita sendiri. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Tentu bisa, karena kita tidak siap menerapkan perintah agung, dan kita cenderung memuja perasaan dan memanjakannya. Untuk membuktikannya mari kita uji perasaan kita dengan menerapkan perintah ayat Kitab Suci ini; “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Rm 12:14).
Ketika kita menguji diri kita, maka kita akan menemukan diri kita dengan sebenarnya. Mampukah kita menerapkan ayat tersebut di atas, yaitu “memberkati orang yang menganiaya kamu….”. Bagaimana mungkin kita memberkati orang yang menganiaya kita? Jangankan dianiaya, disenggol sedikit saja sudah menimbulkan reaksi marah. Janganlah disenggol fisiknya, disenggol perasaannya saja, sudah menimbulkan kebencian yang mendalam yang berujung pada permusuhan, atau minimal menutup diri dan tidak mau bertegur sapa. Ini baru satu ayat saja, masih banyak ayat-ayat Kitab Suci lainnya yang memerintahkan hal-hal yang lebih dari itu. Jika satu ayat saja sudah tidak mungkin kita implementasikan dalam kehidupan kita, maka tidak mungkin kita dapat mengimplementasikan yang lainnya, entah itu janji berkat, nasehat dan perintah-perintah yang lainnya.
Hal tersebut di atas akan sangat mempengaruhi tatanan kehidupan kita, baik dalam hubungan secara horizontal maupun secara vertical. Iman dan kepercayaan kita bukan lagi bergantung kepada Tuhan dan firman-Nya tetapi bergantung kepada keadaan. Maka ini tidak dapat disebut dengan orang beriman, sekalipun mereka nampak religious dalam segala bidang kehidupannya, rajin beribadah, mengasihi tergantung keadaan, manis tergantung situasi, hamble di tempat-tempat tertentu saja, sementara orang jahat pun dapat melakukan hal tersebut (bdk. Lukas 6:32). Lalu apa bedanya kita dengan mereka? Untuk masuk ke dalam kerajaan Sorga, TUHAN Yesus menasehatkan kepada kita, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:20).
Di lapangan kita menemukan seribu satu karakter manusia yang berbeda-beda, disitulah kualitas keagamaan kita akan teruji. Bagaimana kita menempatkan diri, berhadapan dengan begitu banyak manusia yang berbeda-beda karakter, berbeda keinginan, berbeda tujuan, berbeda motif dan lain sebagainya? Tentu tidak mungkin kita akan terus berhadapan dengan orang baik hatinya, lembut suaranya, manis sikapnya, rendah hatinya dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita berhadapan dengan orang yang acuh tak acuh, tidak peduli lingkungan dan sesamanya, bertindak sesuka hatinya bak Sun Go Kong, nakal, liar, brutal, membuat semua menjadi gembar? Kita dingatkan kembali kepada Roma 12:14, bagaimana sikap kita? Mendoakan dan memberkatinya atau membenci dan mengutuknya? Tidak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan hati manusia adalah membenci, tetapi ini sebagai bahan introspeksi diri untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan yang berdasarkan pada Kita Suci untuk menentukan mutu dan kualitas iman kepada Tuhan dan keagamaan kita kepada dunia. Tentu Tuhan tidak menuntut kesempurnaan makhluk yang terbatas untuk melakukannya tetapi kesungguhan walaupun belum mencapai tujuan yang diharapkan. (270117: Ketut Mardiasa)
Menerapkan nilai-nilai kehidupan berdasarkan perintah Kitab Suci sangatlah sulit. Kita senang dan bahagia pada saat kita mendengar tentang janji-janji berkat, namun lupa bahwa, janji berkat tidak akan terwujud jika kita hanya menerima saja tanpa disertai dengan perjuangan untuk mewujudkannya terutama hidup takut akan Tuhan.
Nilai-nilai kehidupan yang akan menentukan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada TUHAN yang telah digariskan dalam Kitab Suci sering sekali berbalik melukai diri kita sendiri. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Tentu bisa, karena kita tidak siap menerapkan perintah agung, dan kita cenderung memuja perasaan dan memanjakannya. Untuk membuktikannya mari kita uji perasaan kita dengan menerapkan perintah ayat Kitab Suci ini; “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Rm 12:14).
Ketika kita menguji diri kita, maka kita akan menemukan diri kita dengan sebenarnya. Mampukah kita menerapkan ayat tersebut di atas, yaitu “memberkati orang yang menganiaya kamu….”. Bagaimana mungkin kita memberkati orang yang menganiaya kita? Jangankan dianiaya, disenggol sedikit saja sudah menimbulkan reaksi marah. Janganlah disenggol fisiknya, disenggol perasaannya saja, sudah menimbulkan kebencian yang mendalam yang berujung pada permusuhan, atau minimal menutup diri dan tidak mau bertegur sapa. Ini baru satu ayat saja, masih banyak ayat-ayat Kitab Suci lainnya yang memerintahkan hal-hal yang lebih dari itu. Jika satu ayat saja sudah tidak mungkin kita implementasikan dalam kehidupan kita, maka tidak mungkin kita dapat mengimplementasikan yang lainnya, entah itu janji berkat, nasehat dan perintah-perintah yang lainnya.
Hal tersebut di atas akan sangat mempengaruhi tatanan kehidupan kita, baik dalam hubungan secara horizontal maupun secara vertical. Iman dan kepercayaan kita bukan lagi bergantung kepada Tuhan dan firman-Nya tetapi bergantung kepada keadaan. Maka ini tidak dapat disebut dengan orang beriman, sekalipun mereka nampak religious dalam segala bidang kehidupannya, rajin beribadah, mengasihi tergantung keadaan, manis tergantung situasi, hamble di tempat-tempat tertentu saja, sementara orang jahat pun dapat melakukan hal tersebut (bdk. Lukas 6:32). Lalu apa bedanya kita dengan mereka? Untuk masuk ke dalam kerajaan Sorga, TUHAN Yesus menasehatkan kepada kita, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:20).
Di lapangan kita menemukan seribu satu karakter manusia yang berbeda-beda, disitulah kualitas keagamaan kita akan teruji. Bagaimana kita menempatkan diri, berhadapan dengan begitu banyak manusia yang berbeda-beda karakter, berbeda keinginan, berbeda tujuan, berbeda motif dan lain sebagainya? Tentu tidak mungkin kita akan terus berhadapan dengan orang baik hatinya, lembut suaranya, manis sikapnya, rendah hatinya dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita berhadapan dengan orang yang acuh tak acuh, tidak peduli lingkungan dan sesamanya, bertindak sesuka hatinya bak Sun Go Kong, nakal, liar, brutal, membuat semua menjadi gembar? Kita dingatkan kembali kepada Roma 12:14, bagaimana sikap kita? Mendoakan dan memberkatinya atau membenci dan mengutuknya? Tidak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan hati manusia adalah membenci, tetapi ini sebagai bahan introspeksi diri untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan yang berdasarkan pada Kita Suci untuk menentukan mutu dan kualitas iman kepada Tuhan dan keagamaan kita kepada dunia. Tentu Tuhan tidak menuntut kesempurnaan makhluk yang terbatas untuk melakukannya tetapi kesungguhan walaupun belum mencapai tujuan yang diharapkan. (270117: Ketut Mardiasa)
No comments:
Post a Comment